BeritaIntelejen.News--DALAM masyarakat Makassar, kecintaan pada adat istiadat, budaya dan tradisi ibarat nasi dan lauk dalam sepiring makanan. Ada yang tak lengkap jika satu dan lain tidak saling melengkapi. Pesta pernikahan menjadi perekat tradisi budaya, adat istiadat juga seni. Dengan itulah masyarakat Makassar bergerak dalam transformasi zaman, menerima perubahan dan menyelipkan cita rasa adat yang tentu saja dengan semua itu hidup semakin berwarna. Tentu saja tidak sederhana karena setiap ritual adat juga menyangkut derajat dalam strata sosial manusia Makassar.
Siang Minggu 31 Juli 2022, menjelang sore, di Kawasan Wisata Saung Kampung rewako Je'ne Tallassa tempatnya diaeral Perkemahan dan Kuliner dan Hutan Perkemahan, Je'ne Tallasa, Kabupaten Gowa (Air Hidup) begitu kira-kira artinya dalam bahasa Makassar. Saya baru saja tiba dari Kabupaten Jeneponto, bersama Sudarman Djoni niat kami duduk menikmati rimbunnya pepohonan di area wisata itu, sembari menghirup kopi dan mengunyah singkong goreng (Ubi kayu), menunggu waktu sholat Ashar, dan mengatur waktu untuk kembali ke Makassar, yang jaraknya hanya tidak lebih dari 10 kilometer. Namun cerita menjadi lain.
Di lokasi itu sedang bersiap serombongan kru film, dan lagi menyiapkan pengambilan gambar sebuah film dengan setting budaya Makassar. Film ini terinspirasi dari kisah cinta yang kandas, seperti terkandung dalam kalimat "Manna Jeraja Kulimbang." arti dan maknanya sangat dalam ibarat janji yang terucap sebagai ikrar "Sekalipun Nyawa Taruhannya, Akan Kutempuh." Makna ini tersimpan dalam sumpah suci kesetiaan yang dikisahkan dalam bait lagu, dan menjadi soundtrack film yang hari itu sedang pengambilan gambar. Udin Leaders Daeng Rewa, adalah penyanyi lagu itu, vokalis daerah Makassar yang sangat berbakat, sejumlah klip videonya memenuhi akun YouTube, suaranya mampu meneteskan air mata ujar Nurdin Achmad putra Timor yang memilih menjadi orang Gowa.
Bertahun lampau kisah sedih rencana perkawinan yang tak kunjung kepelaminan, cinta yang kandas, hati yang hancur, dan nyawaya yang harus meregang demi cinta yang tak pernah direstui. Kisah seperti itu masih membekas dalam diri lelaki dan perempuan Makassar, hanya karena derajat dan status sosial yang tak setara. Kehancuran hati akibat cinta yang kandas dan dikandaskan, terhalang izin orangtua, ketentuan adat dan prinsip bibit, bebet dan bobot. Kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi siapapun bahwa setiap pribadi harus berjuang demi menegakkan harga diri, juga menunjukkan jati diri agar cita-cita dan harapan tidak terhempas dalam putus asa. Semua manusia diciptakan sempurna, maka belajarlah untuk menjadi terhormat dan dihormati.
Adat istiadat memelihara nilai-nilai tradisi yang tentu saja baik. Dalam kajian sosiologi seorang kawan semasa mahasiswa meneliti tentang 'Persepsi masyarakat Makassar, tentang manusia berkualitas.' Temuan penelitian itu menyebutkan manusia berkualitas itu adalah; 'Karaeng' (turunan bangsawan), 'Tubarani' (memiliki keberanian), 'Tucara'de' (berilmu pengetahuan/pintar), 'Tupanrita' (berilmu agama), 'Kalumanyyang' (kaya/memiliki harta). Adat istiadat dimanapun memberikan ruang bagi kelima kategori ini untuk menempati posisi terhormat dalam masyarakat. Kita patut belajar dari kearifan budaya dan adat istiadat, tentu dengan spirit kebaikan dimana agama menjadi landasannya.Tutup, Zulkarnain Hamson
Rahmat jr