HUKUM | BIN - Pakar hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Muhammad Fatahillah Akbar menyebut pelapor kasus dugaan korupsi tidak bisa dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Menurutnya, berdasarkan UU ITE, pelaporan tak bisa dilaporkan fitnah sebelum laporan utamanya diproses penegak hukum.
Aturan tersebut juga dipertegas dengan adanya Memorandum Of Understanding (MOU) antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri.
"Kalau dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi UU ITE, pelaporan itu tak bisa dituntut pencemaran atau fitnah, harus diproses dulu laporan utamanya. Kalau memang niatnya fitnah, baru bisa diproses harus dibuktikan sesuai pengetahuan pelapor," ujar Akbar lewat pernyataannya.
Ia menambahkan, seyoianya penegak hukum harus memproses terlebih dahulu laporan utamanya, yaitu terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi. Ia pun menegaskan jika pelapor menggunakan kata 'diduga' pun tidak bisa dilaporkan.
"Betul, jelas tidak bisa. Apalagi UU Korupsi melindungi pelapor. Fokus utamanya adalah membuktikan laporan (apakah ada unsur dugaan korupsi atau tidak), bukan malah dilaporkan balik," tandasnya.
Pernyataan tersebut menyikapi Sekjen FSP BUMN Bersatu Tri Sasono yang melaporkan Koordinator Aliansi Mahasiswa Peduli Hukum Indonesia (AMPHI) Jhones Brayen dan Direktur CORE, Mohammad Faisal terkait penyebaran berita palsu tentang kredit macet perusahaan tambang di bank BUMN ke Bareskrim Polri.
Sebelumnya, AMPHI telah melaporkan dugaan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung.
Lebih lanjut, Akbar menegaskan jika dalam SKB KPK dan Polri dan tafsir pasal 310 KUHP, kehormatan yang diserang harus individu, tidak bisa lembaga.
Terkait dugaan kasus korupsi akbar menegaskan "Tidak bisa dilaporkan apalagi kalau untuk kepentingan umum, maka tidak bisa dianggap pencemaran nama baik, Pasal 310 ayat 3," pungkasnya. (Red)
Sumber: Media Indonesia