Halmahera Selatan | BIN - Arif La Awa, seorang warga desa Laiwui, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang mengklaim tanah seluas 15 hektare di desa Kawasi, telah menimbulkan keresahan di kalangan warga setempat. Arif La Awa dianggap berperilaku seperti mafia tanah dengan klaim yang tidak berdasar atas tanah milik warga asli Kawasi, termasuk tanah yang telah dijual atau dibebaskan kepada pihak lain.
Kasus di Desa Kawasi, Pulau Obi, mengundang perhatian publik dengan ketegangan yang meningkat akibat klaim tanah oleh Arif La Awa.
Arif mengklaim kepemilikan lahan seluas 15 hektare dan berencana menjualnya seharga Rp 25 miliar kepada sebuah perusahaan tambang. Warga desa, yang telah menetap di sana selama puluhan tahun, menolak klaim ini, menganggapnya sebagai ancaman serius.
Hamja Lewer, seorang tokoh masyarakat berusia 75 tahun, menyatakan bahwa Arif La Awa bahkan menawarkan uang Rp 100 juta jika tanah tersebut berhasil dijual, namun tawaran tersebut ditolak. Selain itu, Arif La Awa diduga bersekongkol dengan keponakannya, Imran, mantan Sekjen Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), Imran yang juga mantan narapidana kasus tambang emas ilegal di Kabupaten Buru bersama-sama melakukan penyerobotan lahan di desa Kawasi, hal ini sangat merugikan warga setempat.
Selain itu, Demi mewujudkan ambisinya ia berani mencoba membujuk Kapolres Halsel untuk berbagi keuntungan dari penjualan tanah tersebut. Akan tetapi upaya untuk mengajak kerjasama Kapolres Halsel tidak berhasil. Hingga saat ini, pelaku dikabarkan belum tersentuh oleh aparat hukum.
Kasus-kasus ini menunjukkan betapa seriusnya masalah mafia tanah di Indonesia dan upaya pemerintah untuk memberantasnya. (Red/Tim)